Cara Mengelola Desa Wisata: Kompetitif Dengan Partnership (Kemitraan)
Artikel kali ini mungkin akan sangat berguna bagi para penggerak Desa Wisata yang ada widi Indonesia. Karena saya akan kasi bocoran bagaimana cara mengelola Desa Wisata yang bisa kompetitif. Para penggerak Desa Wisata mungkin sudah tidak asing lagi mengenal Desa Wisata Gubuklakah di Kab. Malang.
Desa Wisata ini letaknya cukup strategis karena menjadi salah satu akses ke Kawasan Pariwisata Bromo-Tengger-Semeru. Desa Wisata ini merupakan salah satu Desa Wisata terbaik di Indonesia. Segudang prestasi sudah diperoleh oleh Desa Wisata Ini, untuk kategori Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Desa Wisata ini pernah menjadi yang terbaik tingkat nasional yaitu pada tahun 2014. Dan untuk kategori pengelolaan Desa Wisata Hijau pernah juga menjadi yang terbaik di tingkat nasional pada ajang ISTA (Indonesia Sustainable Tourism Award) di tahun 2017.
Untuk itu, saya akan kasi bocoran bagaimana cara mengelola Desa Wisata melalui wawancara dengan Ketua Lembaga Desa Wisata (Ladesta) Gubugklakah yang sekaligus sebagai Ketua Pokdarwis Jawa Timur yaitu Bapak H. Anshori, agar teman-teman bisa menggunakan prinsip benchmarking atau ATM-nya (Amati-Tiru-Modifikasi), hehehe….

Berikut beberapa petikan wawancara saya bersama teman-teman dosen STP Bandung dengan Bapak H. Anshori di kediaman beliau pada tanggal 17 Juli 2019.
Tanya:
Bagaimana sejarah terbentuknya Desa Wisata Gubuklakah sebagai destinasi wisata?
Jawab:
Sejarah Desa Wisata ini diawali dari keprihatinan, jadi sebelum tahun 2010 yang berwisata ke Bromo itu sudah ada tapi tidak sebanyak sekarang dan waktu itu masyarakat yang ada di desa ini hanya mendapatkan bising kendaraan yang lewat, hanya mendapatkan debu yang berterbangan tanpa mendapatkan suatu apapun dari itu. Jadi masyarakat tidak mendapatkan manfaat apapun dari kegiatan pariwisata pada waktu itu, kecuali mereka yang mau berjualan di sekitar Coban Pelangi.
Terus kami punya keinginan untuk membentuk Pokdarwis sekaligus membentuk Lembaga Desa Wisatanya, karena saat itu Pokdarwis tidak bicara uang, Pokdarwis itu hanya kepercayaan masyarakat sebagai penggerak saja, atau sebagai motivator sementara Lembaga Desa Wisata Ini yang bisa menjual desanya, dalam menjual paket-paket desa wisata. Dan atas SK dari Kepala Desa serta dari Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kab. Malang, maka berdirilah Lembaga Desa Wisata (Ladesta) pada tanggal 20 Agustus 2010 sebagai lembaga pengelola Desa Wisata di Gubugklakah. Sementara itu tujuan utama didirikan Ladesta adalah untuk mensejahterakan masyarakat Desa Gubugklakah dari kegiatan pariwisata.
Tanya:
Apa saja prestasi yang telah diperoleh oleh Desa Wisata Gubuklakah?
Jawab:
Prestasi kami yang pertama adalah menjadi stand terbaik di MTF (Mojopahit Travel Fair) di Surabaya. Terus berapa bulan kemudian perlombaan Pokdarwis kami dapat nomor urut 2 di Jawa Timur. Terus 2014 kami ikut perlombaan lagi dan kami dapat penghargaan juara 3 Desa Wisata tingkat nasional. Satu bulan kemudian ada lomba Pokdarwis, dan kami dapat kategori terbaik jadi juara 1 Pokdarwis nasional.
Terus tahun 2017 kami ikut lagi di 2 kejuaraan Desa Wisata dan homestay, dan kami berhasil meraih predikat terbaik untuk Desa Wisata Hijau se-Indonesia dalam ajang ISTA. Sementara itu saya sebagai pribadi juga mendapatkan penghargaan Satya Lencana dari Presiden RI pada tahun 2018 karena saya dinilai telah memberikan manfaat terhadap kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan pariwisata.
Tanya:
Bagaimana cara mengelola Desa Wisata Gubuklakah dari sisi struktur organisasinya?
Jawab:
Strukturnya organisasinya yaitu pertama Kepala Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kab. Malang sebagai pembina langsung. Pembina tidak langsung dari Dinas Provinsi dan dari Kementerian. Kemudian ada penasehat, yaitu Kabid dari Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kab. Malang, Camat dan tokoh masyarakat.
Untuk Camat bukan orangnya tapi jabatannya, kalau tokoh masyarakat baru nama orangnya. Kemudian pelindung yaitu Kepala Desa Gubugklakah, baru strukturnya yaitu ketua, wakil, sekretaris, bendahara terus ada seksi-seksi dibawahnya yang disebut dengan pokja. Pokja tersebut tergantung dari kebutuhan. Contoh ada pokja homestay, pokja agro, transportasi, pemandu, kuliner dan lain-lain sesuai dengan SK dari Dinas Pariwisata & Kebudayaan Kab. Malang.
Tanya:
Apa produk yang disediakan oleh Desa Wisata Gubuklakah?
Jawab:
Kami menjual paket wisata kepada wisatawan yang terdiri dari transportasi, homestay, aktivitas pariwisata seperti kebudayaan, agro atau aktivitas di alam seperti Coban Pelangi. Paket tersebut dijual oleh biro perjalanan atau trip gabungan seperti opentrip. Selain itu bisa juga secara terpisah ada homestay, pemandu, makan minum, transportasi dan daya tarik wisata yaitu air terjun ada tiga, ada rafting, tubing, outbond, bromo, kemudian edukasi ada 14 macam. Semua disediakan dan diproduksi di sini.
Tanya:
Apa yang menjadi keunikan atau keunggulan Desa Wisata ini dengan yang lain?
Jawab:
Keunggulannya yaitu kekompakan, pemberdayaan masyarakatnya serta keterlibatan antar pemangku kepentingan pariwisata.
Tanya:
Bagaimana cara mengelola Desa Wisata Gubuklakah dari sisi keterkaitan antar pemangku kepentingannya?
Jawab:
Desa Wisata Gubuklakah melakukan kerjasama atau kemitraan dengan unsur Penta-Helix. Bagaimana kita bisa kerjasama dengan baik dengan pemerintah baik Pemerintah desa Kecamatan, Kabupaten sampai ke pusat. Jadi kalau kita bicara pemerintah yang terlibat bukan hanya dari Dinas Pariwisata, tetapi dengan semua unsur kedinasan yang ada. Seperti mengenai penataan Sapta Pesona ketiga yaitu tentang hijau (green) kita kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan untuk minta bibit dan sebagainya.
Terus untuk kesehatan kita bekerjasama dengan Dinas Kesehatan. Mungkin tidak melalui Desa Wisata, tapi Desa Wisata minta kepala desa, terus kepala desa yang menjebatani untuk meminta bantuan dari Dinas-Dinas terkait. Karena Pokdarwis tidak mungkin bisa, soalnya pokdarwis itu kan posisinya sebagai Mitra dari desa yang melaksanakan roda pariwisata di desa.
Selanjutnya untuk rambu-rambu kita bekerjasama dengan Dinas Perhubungan, dengan PU dan Cipta Karya untuk jalan. Jadi kami yang mengusulkan dan Desa yang menjebatani. Demikian juga dengan yang Provinsi dan Kementerian.
Kalau kerjasama dengan akademisi seperti kerjasama KKN untuk dimintai membereskan administrasi di desa, kemudian kita minta untuk lebih ke pemberdayaan masyarakat seperti untuk sharing ilmu dengan masyarakat atau pelatihan-pelatihan.
Kerjasama dengan pihak swasta dilakukan dengan biro perjalanan dan sekarang kami sudah bekerjasama dengan lebih dari 100 biro perjalanan yang kebanyakan berasal dari Jabodetabek. Jadi kita yang menyusun paketnya, dan pihak biro perjalanan yang menjualnya.
Selain itu kerjasama juga dilakukan dengan masyarakat dan komunitas seperti pemilik homestay, pokdarwis, HPI, PHRI, Paguyuban Jeep, dll. Dan terakhir kami bekerjasama dengan media seperti televisi, radio dll.
Tanya:
Bagaimana kunci sukses cara mengelola Desa Wisata Gubugklakah ini?
Jawab:
Kunci penting yang kami lakukan adalah menjalankan 5 konsep pengelolaan yang kami anut. Yang pertama adalah masalah kepemimpinan, Jadi seorang pemimpin itu harus bisa mendelegasikan pekerjaan kepada anggota, jadi tidak semua ditangani oleh satu orang bukan one man show, tetapi semua harus terlibat, baik mulai dari pimpinan sampai anggota tugasnya harus ada sendiri-sendiri.
Yang kedua yaitu sistem pembagian profit di sini itu sesuai dengan kinerja, kalau ketua tidak terlibat dalam melayani tamu maka kita tidak menganggarkan untuk itu. Jadi saya misalnya ada tamu tetapi saya tidak terlibat mulai dari awal, tidak ikut menyambut dan sebagainya, satu rupiahpun saya tidak berhak. Jadi biar siapa yang bekerja itu yang mendapatkan uang.
Yang ketiga yang harus dilakukan itu adalah perencanaann dan penelitian untuk melakukan inovasi produk wisata. Jadi kita harus melakukan identifikasi potensi dan identifikasi permasalahan sehingga kita bisa duduk bareng untuk mencari solusinya. Contohnya awal dulu kan disini cuman ada Coban Pelangi dan Bromo, kemudian disini ada potensi untuk rafting dan ada operator dari luar yang ingin menyediakan jasa rafting, kemudian kami bekerjasama dengan Perhutani.
Jadi Ladesta yang memasarkan rafting dan operator tersebut yang mengoperasionalkan wisata raftingnya. Jadi kerjasamanya biar operator yang menjual tiket, terus Ladesta yang menjual paketnya, jadi gak ada unsur rebutan disitu. Jadi kalau ada tamu datang sendiri ya silahkan beli tiket, tetapi jika ada yang datang melalui Ladesta, tamu tinggal masuk dan bendahara Ladesta yang langsung bayar tiket masuknya. Jadi kami memiliki prinsip “one village multi product” tidak “one village one product”, agar banyak pilihan dan tidak membosankan, sehingga kami harus melakukan inovasi terus menerus dan akhirnya kami memiliki 14 paket edukasi itu tadi.
Yang ke-empat adalah melakukan kemitraan. Jadi sesama Pokdarwis di dalam ini harus kompak, jadi kekompakan dan kekeluargaan itu yang utama. Jadi jangan sampai ada masalah sedikit jangan sampai keluar, harus dapat diselesaikan di dalam dan pada saat itu juga. Dan yang ke-lima adalah pemasaran. Untuk pemasaran desa wisata, disamping kita bekerjasama dengan biro perjalanan, kami beri kebebasan semua anggota untuk memasarkan, tapi jangan sampai posting harga di media sosial.
Terus kita menjaga etika siapapun yang mendapatkan tamu, masuknya tetap harus satu pintu yaitu lewat Ladesta. Kami tidak ingin seperti homestay yang ada di daerah lain, yang bebas memasarkan dan mencari sendiri tamu masing-masing, yang akhirnya banyak homestay-nya yang mati.
Selanjutnya adalah menerapkan pemasaran kerjasama, yaitu tidak menganggap yang lain itu pesaing, tetapi saling melengkapi. Contohnya tamu yang ingin ke pantai kita arahkan ke pokdarwis yang memiliki atraksi wisata atau daya tarik pantai dan sebaliknya pokdarwis yang ada di luar merekomendasikan Coban Pelangi yang ada dikami jika tamu mencari air terjun.
Bahkan kami memiliki paket bersama dengan Pokdarwis atau Desa Wisata yang lainnya yaitu paket empat hari tiga malam, mulai dari Pujon Kidul sampai laut selatan dan terakhir Bromo. Di Malang ini memiliki 160 Pokdarwis dan 18 Desa Wisata, dan kami bekerjasama dengan pemasaran dengan mereka itu.
Tanya:
Bagaimana cara mengelola Desa Wisata ini agar kompak?
Jawab:
Yang pertama adalah menanamkan kesadaran kepada anggota bahwa Ladesta ini sangat bermanfaat dan sangat dibutuhkan oleh Desa dan Masyarakat, sehingga masalah hari ini harus diselesaikan hari ini juga, dengan cara pendekatan secara personal dan kekeluargaan.
Tanya:
Apakah pernah ada masalah yang serius dalam pengelolaan Ladesta ini?
Jawab:
Masalah sering terjadi dan yang paling banyak adalah dalam masalah keuangan, yaitu biasanya kecemburuan, jadi kita langsung kumpulkan pada hari itu juga dan harus selesai pada saat itu juga. Jadi kalau ada masalah pada pagi atau siang hari, malam hari kita kumpulkan, kalau mau berkelahi silahkan berkelahi saat itu juga dan tidak berlarut-larut. Pernah ada asbak melayang gara-gara uang lima ribu, tapi untung gak kena, dan setelah itu selesai dan kembali normal lagi. Dulu sekitar tahun 2013 yang sering, tapi kalau sekarang sudah aman.
Tanya:
Bagaimana pengalaman pahit yang telah dirasakan dalam pengelolaan Ladesta ini?
Jawab:
Pengalaman pahitnya adalah dulu selama tiga tahun kami dianggap sebagai orang gila. Mulai dari 2010 sampai dengan 2013 itu masih ada stigma dimata masyarakat bahwa pariwisata itu dengan maksiat sangat berdekatan. Sampai ada yang mengatakan kepada kami sebagai perkumpulan pengajian maksiat, hehehe….
Tanya:
Bagaimana cara mengelola Desa Wisata dalam menanggapi stigma negatif tersebut?
Jawab:
Caranya adalah dengan bersabar dan terus bersosialisasi. Kami memberikan jawaban kepada pihak-pihak yang berfikir negatif tersebut bukan dengan ucapan tetapi dengan bukti. Dan alhamdulillan dulu yang pernah mencibir kami, sekarang sudah bergabung dan rumahnya sudah dijadikan homestay. Dan dulu yang memusuhi kami secara terang-terangan sekarang menjadi penyedia transportasi untuk menjemput tamu.
Tanya:
Apakah strategi kemitraan itu menjadi kunci sukses dari cara mengelola Desa Wisata ini?
Jawab:
Betul sekali, kemitraan adalah kunci sukses dari keberhasilan kami membangun Desa Wisata ini. Karena begini, dari beberapa daya tarik yang ada di Gubugklakah kalau kita tidak bersinergi dalam kemitraan kita akan sulit. Homestay itu kan bukan milik Ladesta tetapi milik masyarakat perorangan, kalau kita tidak ada dukungan dari sana kan kita tidak akan bisa bergerak. Termasuk dengan agro apel, pemilik kendaraan dan daya tarik alam yang dimiliki oleh perhutani.
Nah itulah petikan wawancara kami mengenai bagaimana cara mengelola Desa Wisata bersama Ladesta Gubugklakah. Semoga para pembaca sekalian bisa dapat mengambil manfaatnya.